Sebuah Teroka Kembara Nusa Tenggara

April 11, 2013


Tidak mudah untuk memulai menulis. Sekalipun bahan tulisan sudah sedemikian melimpah. 

Sembilan belas hari melakukan misi perjalanan pribadi ke Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, saya telah mengumpulkan begitu banyak kisah. Perjalanan yang saya beri tajuk Kembara Nusa Tenggara menyisir realitas dari ujung timur ke ujung barat Pulau Timor wilayah RI, Pulau Flores, Pulau Sumbawa, hingga kembali lagi ke Jawa. Meski tidak semua daerah dan pulau di Nusa Tenggara yang terjangkau, tapi sebagai sebuah simbol petualangan, tak apalah saya mengklaim  sebagai Kembara Nusa Tenggara.

Perjalanan ini jelas kaya akan nutrisi dan bergizi untuk menghasilkan sebuah tulisan yang merekam kisah saudara sebangsa dan pesona alam di Nusa Tenggara. Idealnya saya bisa segera menuliskannya!

Tapi, ternyata tidaklah linier apa yang dibayangkan. Referensi melimpah tidak berarti mudah untuk lekas menulis. Ada perihal-perihal yang menghambat jari-jari untuk segera menari di atas papan ketik laptop. Barangkali ini semacam preseden buruk bagi saya. Pikiran belum tenang untuk menulis. Masih terkena semacam post travel syndrome. Pikiran masih terbang bebas pada panorama-panorama indah selama Kembara Nusa Tenggara. Masih susah hinggap pada alam nyata bahwa saya perlu menuliskannya.

Tadi malam saya mencoba menulis. Tapi seketika lima kalimat yang muncul pun terhapus. Kosong kembali. Tak berbekas. Benar, angan masih diselubungi oleh khayalan indah. Terasa seperti penuh selimut nafsu buru-buru memproduksi karya. Semacam mengejar setoran artikel. Saya pun memilih menyerah. Mundur satu langkah untuk maju seribu langkah – afirmasi klasik bagi pihak yang gagal seketika saat kegagalan melanda.

Saya berusaha sadar. Laku menulis, jujur perlu kejernihan dan ketulusan hati. Ketenangan pikiran. Bukan sembarang asal menulis karena sekedar memenuhi nafsu bahwa sebuah perjalanan mesti lekas dituliskan. Saya tidak bisa seperti itu. Setiap menulis, saya senantiasa memerlukan semacam kontemplasi. Perenungan untuk merajut benang-benang informasi. Tak cukuplah saya sekedar menuliskan apa yang saya lihat, rasakan atau alami. Tapi butuh referensi sekunder. Semisal literasi dan konfirmasi.

Namun, paling mengganjal sesungguhnya adalah kegelisahan diri karena terngiang buku catatan yang hilang. Buku saya jatuh pada perjalanan sepulang dari Wae Rebo. Masih ingat jelas buku itu terakhir untuk menuliskan istilah-istilah tentang rumah dan tradisi masyarakat Wae Rebo. Saya sisir kembali pada jalanan yang saya duga menjadi lokasi jatuh. Ah, nihil tak berhasil. Sempat saya bertanya pada kawan yang jago ‘menerawang’. Katanya buku itu berada pada sebuah rumah penduduk. Buku itu ‘diselamatkan’ warga. Tapi saya tidak tahu warga yang mana. Baiklah. Itu memang bukan rejeki saya. Ikhlas dan tabah pun menjadi satu-satunya sandaran untuk melegakan.

Satu lagi ganjalan yang membuat hati belum jua tenang. Tentang foto dalam etape Ende – Mbay – Riung. Foto etape ini tertinggal tak di-backup. Atau lebih tepatnya tidak teliti dipastikan sudah di-backup di laptop. Saya masih ingat kalau saya sudah memberikan SD Card kepada seorang travelmate. Tetapi malah SD Card satunya yang terbackup dua kali. Artinya, SD Card yang berisi foto etape ini missing. Hiks. Sayalah yang ceroboh. Tidak memastikan. Barangkali terlampau percaya seratus persen. Dan, baru 9 hari setelah peristiwa itu saya menyadari. Recovery? Sia-sialah. Sudah tertumpuk banyak file hingga memori penuh dan terformat berkali-kali. Sekali lagi, ikhlas dan tabah.

Setiap peristiwa naas paling baik adalah diambil hikmahnya. Hikmah paling baik adalah direfleksikan ke diri sendiri. Kalau saja ada faktor eksternal, bukan hal bijak menyeret pihak lain sebagai penyebab kenaasan. Kesimpulan besar sebabnya adalah rendahnya kontrol diri pada data-data penting. Saya terlalu meremehkan kalau data-data itu seakan terjamin dengan sendirinya. Padahal sekali data itu hilang, bisa jadi hilang selamanya. Artinya itu menyebabkan sedikit data untuk menulis. Dan paling berdampak nyata kepada saya adalah kejadian hilangnya buku catatan dan foto itu sangat mengganjal untuk memulai menulis. Seperti yang saya alami sekarang.

Huffff. Sembari mengelus dada.

Pesona Taman Laut Riung 17 Pulau, Ngada. @iqbal_kautsar
Wae Rebo, kampung peraih penghargaan UNESCO-Asia Pasific Heritage 2012. @iqbal_kautsar
Seorang nelayan di Pantai Air Cina, Kupang. @iqbal_kautsar

Namun, larut pada kedukaan tak akan bisa mengantarkan saya menggoreskan seawal kata. Celotehan ini barangkali saya niatkan untuk menghidupkan lagi kepekaan di tengah keganjalan ini. Syukur-syukur saya bisa mengusir ganjal ini dan menggantikannya dengan pelumas semangat. Sedikit-sedikit. Tak perlu berburu-buru. Mencoba mengais lagi mood menulis catatan perjalanan tentang Kembara Nusa Tenggara ini.
Baiklaah...

Tentang perjalanan 19 hari Kembara Nusa Tenggara, saya akan membaginya dalam gambaran besar setiap hari. Bagian-bagian ini saya tuliskan dalam sebutan etape. Ya, setiap bagian tulisan adalah etape. Sebuah etape akan didasarkan pada kisah-kisah pada satu kota atau daerah, termasuk dalam perjalanan berangkat dan pulangnya. Alasannya, hanyalah memudahkan saya pribadi untuk menulis. Saya tidak pandai merajut tulisan yang bisa melompat-lompat antarkota. Penulisan yang runtut dan fokus pada satu kota saya pandang lebih mudah bagi saya pribadi. Barangkali bagi yang membaca juga akan lebih mudah. Semoga.  

Berikut adalah gambaran besar tulisan Kembara Nusa Tenggara:

Etape I: Pemberangkatan, Jogja-Surabaya-Denpasar
Etape II: Kupang-Atambua
Etape III: Atambua dan Perbatasan RI
Etape IV: Boti
Etape V: Kupang
Etape VI: Maumere
Etape VII: Larantuka
Etape VIII: Ende
Etape IX: Kelimutu dan sekitarnya
Etape X: Riung dan Mbay
Etape XI: Bajawa, Ngada
Etape XII: Ruteng, Manggarai
Etape XIII: Wae Rebo
Etape XIV: Labuan Bajo dan Penyeberangan ke Sumbawa
Etape XV: Bima dan sekitarnya – Sumbawa
Etape XVI: Lombok
Etape XVII: Perjalanan Pulang: Surabaya-Jogja

Total ada 17 etape yang akan digoreskan dalam wujud tulisan. Tidak terasa jumlah yang cukup banyak. Apalagi kalau setiap tulisan berisi minimal 5 halaman. Ah, bisa menjadi semacam buku. Dan, memang seperti itu niatannya untuk diwujudkan dalam bentuk buku. Tapi bukan dalam bentuk komersil. Jujur saya tidak terlampau suka dan risih andai setiap gagasan dikomersialkan.

Dan, jujur ini butuh proses yang tidak mudah. Barangkali pembagian dalam 17 etape bisa jadi adalah cita-cita yang tinggi. Apapun setiap cita tentu mengandung harapan. Saya menumpu harapan agar benar-benar terealisasi. Menuliskan 17 artikel pun akan menjadi sebuah laku yang sunyi. Memang benar, kata seorang penulis, bahwa menulis buku itu adalah laku sunyi dan suci. Sunyi karena harus memerlukan suasana tenang, jauh dari hiruk pikuk dunia. Suci karena pikiran harus bersih dan bebas dari najis-najis nafsu.

Pertanyaannya, bisakah saya melakukannya? Tentu saya jawab: Saya Bisa! Bukankah ini wujud tanggung jawab seseprang yang sudah menetapkan cita. Ah. tapi barangkali juga: Mungkin Saya Bisa. Ada tambahan kata “mungkin” karena sadar saya masih memiliki kewajiban akademik yang tak kalah ‘sunyi’ dan ‘suci’nya. Membagi dua hal yang sama-sama ‘sunyi’ dan ‘suci’ ini menjadi tantangan terberat dalam beberapa bulan ke depan. Pun, saya dengan rendah hari, mohon doanya, kawan! Agar saya bisa menyelesaikan dua hal ini dengan baik dan tidak berlarut-larut.

Masyarakat Suku Nekto', Kab. Malaka, Timor, NTT
Patung Bunda Maria di Larantuka. Kota ziarah dunia untuk umat Katolik. @iqbal_kautsar
Salah satu savana di Cekungan Soa dalam perjalanan Riung - Bajawa. @iqbal_kautsar
Pantai Koka, Sikka. Hamparan pasir putihnya begitu menggoda. @iqbal_kautsar

Terima Kasih

Pada tulisan Teroka ini, saya juga ingin melibatkan orang-orang setempat yang banyak memberikan sumbangsih atas kelancaran Kembara Nusa Tenggara. Orang-orang ini bukanlah orang terkenal apalagi pejabat teras pemerintah. Mereka sekedar manusia-manusia hebat yang secara tulus dan ikhlas membantu saya. Mereka adalah orang sederhana yang mengisi bumi Nusa Tenggara dengan cerita-cerita indahnya. Jujur, saya tidak ingat semua nama orang itu, terlebih nama lengkapnya. Semua itu karena kesalahan saya yang menghilangkan buku catatan sendiri. Maafkan saya. Saya pun mengucapkan terima kasih sebesar-besar kepada mereka. Salam cinta dan persaudaraan kepada mereka: papa, mama, kakak, kawan!

-   Di Surabaya: kepada Aprilia Dwihapsari, sahabat di UNAIR Surabaya, yang sudah menemui dengan penuh persahabatan di Terminal Bungurasih sekaligus memberi bekal makanan dan membelikan baterai kamera untuk Myloto. 
-   Di Kuta dan Denpasar: kepada Fajar Wahyu Hidayat, sahabat karib saya di Denpasar yang menyediakan motor dan kosnya sebagai tempat transit semalam, serta Mas Fauzi, Mbak Wati dan Zenit Syahrini, ‘sedulur’ yang menyediakan makan malam gratis.
-   Di Atambua: Kepada Papa Mama Ela Bere di Sukabiren yang menyediakan rumahnya yang hangat, memberi makan lezat untuk kami secara ikhlas dan bertoleransi tulus meski berbeda agama. Kepada Richi Anyan, kawan di Pers Mahasiswa Yogyakarta yang telah membolehkan saya bisa menginap di rumahnya di Atambua. Kepada Paman Li dan paman-paman lain yang menjadi kawan ngobrol dan informan penting tentang suku asli dan Timor Leste-NTT sekaligus menyediakan motor untuk kami bertualang di sana. Kepada Bang Yanto yang menemani dan menjadi guide ke Kampung Nekto’, kampung nenek Richi punya. Kepada Kepala Suku Nekto’ (lupa namanya) beserta masyarakat yang dengan hangat menyambut dan bercerita banyak serta membawa kami ke padang rumput sangat indah saat menyesap senja.
-   Di Mota’ain (perbatasan RI-Timor Leste): Kepada Tentara Penjaga Perbatasan (Gala, Surakarsa dan Supardi) yang secara ramah bercerita kisah-kisah absurd di perbatasan, termasuk tentang PRETELE (Fretilin). Khusus mas Gala yang mengantar saya bisa masuk dan melihat keadaan wilayah Timor Leste sejauh 2 km di Batu Gede, Timor Leste)
-   Di Boti: Kepada adik perempuan bungsu Raja Boti (tidak ingat namanya) sebagai perwakilan Raja Boti yang sedang di ladang, yang menyambut kedatangan kami dengan keramahan, keterbukaan, serta minuman kopi terbaik, kain tenun persaudaraan dan hidangan makan siang. Kepada dua tukang ojek di Niki-Niki (lupa namanya) yang rela mengantar kami lewat jajalan sangat terjal dan mau ditawar harganya karena kepedulian dengan sesama anak negeri.
-   Di Kupang: Kepada Irma Afifatul Aini (thechromosomexx.blogspot.com), seorang anak gaul Kalisat Jember, mantan mahasiswa UNAIR, traveler wanita cadas Indonesia, penghuni newbie Kupang (baru sebulan) dan penawar sadis makanan, yang dengan penuh persahabatan menyambut dan menemani kami keliling Kupang, sekaligus dia menjadi guide yang sangat baik dan kaya cerita. Sekarang menjadi sahabat baru kami. Kepada seorang pemuda di Bolok yang mengantarkan ke Gua Kristal dimana begitu tersembunyi.  
-   Di Maumere: Kepada Gonzales dan kakaknya yang mau menampung kami dengan tulus, memberi makan, memberi informasi daerah, dan mengayomi kami selama di Maumere. Kepada Alfrid, lelaki setempat yang menjadi kawan dan guide menjelajahi Pantai Koka, Sikka, dll. Kepada Muhammad, Ikhsan, dan dua orang kawannya di kampung Wuring yang telah bercerita tentang kisah Islam di Maumere. Kepada Rendi Kurniawan, perantau asal sedaerah-Kebumen-yang menyediakan kantornya di bandara Frans Seda sebagai tempat singgah beristirahat.
-   Di Larantuka: Kepada Wiskedang, seorang lelaki muda yang mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan wisata Flores Timor, meyakinkan kepada Bupati bahwa di sana banyak wisata unik, selalu semangat ketika menerima kami di kantornya Tourist Information Center. Beliau memberi kami gratis peta Flores terbitan Swiss Contact dan Kartu Pos bergambar Tarian Caci dan bertukar informasi tentang pariwisata Flores Timur.
-   Di Ende: Kepada Wista Ari Prasetianto, seorang sahabat di SMP yang akhirnya bisa bertemu setelah sekian lama berpisah yang telah menjadi sandaran etape Kembara Nusatenggara di Ende dan sekitarnya (kos, rental motor, destinasi Kota Ende, interaksi masyarakat Jawa dan setempat, dll). Kepada Bernadus Dei (Kepala Suku Wolotopo), Wilhelmus dan masyarakat Suku Wolotopo atas kehangatan sambutan, ceritanya yang inspiratif tentang menjaga tradisi dan bangunan tahan gempa serta suguhan kopi asli nikmatnya. Kepada Safrudin, penjaga Rumah Pengasingan Bung Karno di Jl. Perwira Ende yang mau membukakan pintu di petang hari dan bercerita tentang ironi hidupnya. Kepada Mas Edi yang telah berbagi informasi tentang Riung. Kepada Pak Alex, seorang arsitektur, penyelamat gaharu, dan visionis Ende atas cerita inspiratifnya tentang kayu gaharu dan kemistisan Danau Tiga Warna Kelimutu.
-   Di Kelimutu: Kepada dua orang pedagang wanita (lupa namanya) di Tugu Kelimutu yang bersedia berbagi kisah hidupnya sekaligus Kisah Kelimutu. Kepada tiga adik manis perempuan (lupa namanya) di Waturaka, lereng Kelimutu yang dengan tulus menunjukkan kolam air hangat di tengah sawah masyarakat.
-   Di Riung: Kepada Baharudin Djojo, kepala PLN Riung, yang telah memberikan informasi, membantu penyewaan kapal, dan berbagi cerita tentang realitas masyarakat NTT yang sebenarnya, terutama di perantauan. Kepada Muhammad Edison, pegawai PLN Riung yang telah mengantarkan di sekitar Riung. Kepada Om Mahi, nelayan yang menjadi guide terbaik menjelajahi pesona Pulau 17 Riung termasuk berbagi cerita tempat-tempat terbaik untuk snorkeling atau diving.
-   Di Bajawa: Kepada Daniel, tukang ojek yang bersimpati kepada kami setelah kami ‘diperas’ dua tukang ojek lain saat berkeliling ke Kampung Bena dan Wogo serta ia membantu mencarikan travel ke Ruteng. Kepada Harni, perempuan perantau penjual Tempe asal Solo di Pasar Bajawa yang telah mengundang kawan pedagangnya, Deus untuk membuka dagangan kopinya padahal saat itu pasar masih sepi dalam aura Paskah. Deus adalah pedagang kopi yang berasal dari Mataloko dimana kopinya berasal dari perkebunannya sendiri. Beliau memberi bonus beberapa gram bubuk kopi kepada saya.
-   Di Ruteng: Kepada Dedi, pengelola Hotel Rima, yang dengan ramah hati membantu informasi petualangan kami di Ruteng, mencarikan rental motor dan mobil travel ke Labuan Bajo. Hotel miliknya pun begitu bersih dan sangat nyaman bagi Backpacker. Kepada, penjaga Liang Bua yang sungguh bersemangat bercerita tentang keunikan Liang Bua dan Homo Floresiensis. Kepada Alex Handus di Lingko Cancar yang dengan sukarela menunjukan alat-alat Tarian Caci, tarian khas Manggarai. Kepada Inas, Ayu, Yuni, tiga bocah manis yang menemani kami menaiki Golo Curu untuk mendapatkan pemandangan sempurna Lingko Cancar.
-  Di Wae Rebo. Kepada Vitalis Hanan, guide kami yang sabar dan rendah hati di Wae Rebo, yang dengan keramahannya menyambut kami, menyuguhi kopi, menyediakan makan siang, memberi kayu sumong di rumah hangatnya. Kepada Martinus Anggo, lelaki muda yang banyak memberi petunjuk di Wae Rebo. Kepada Blasius Monta yang membolehkan rumahnya sebagai tempat penitipan motor kami di Denge. Kepada Tetua Adat Wae Rebo, Rofinus dan Biyaktus yang menyambut ramah dan memperbolehkan kami tinggal 24 jam di Wae Rebo. Kepada Bang Primus yang mengundang kami di acara syukuran nama anak pertamanya sekaligus menyediakan seekor ayam untuk dipotong secara Islami. Selamat untuk Angela, semoga menjadi anak yang hebat dan berbakti untuk orang tua dan sukunya. Kepada seluruh Masyarakat Wae Rebo yang selalu ramah dan melempar sapa setiap kami bertemu dengan mereka. Kepada mas Ary, Agus dan mbak Rahayu dari Indecon yang kebetulan bebarengan menjadi tamu Wae Rebo atas cerita-cerita inspiratif tentang pemberdayaan masyarakat dengan konsep ecotourism.
-   Di Labuan Bajo. Kepada Ignasius Juru, alumni UGM asal Labuan Bajo yang berbagi informasi tentang penginapan dan penyeberangan ke Sape. 
-   Di Bima. Kepada Dian Pratiwi, Ulfa, Fer Schester dan keluarga yang telah menyambut kami dengan totalitas dan mau menjadi sahabat kami di Bima. Terima kasih atas rumah, makanan, guide jalan-jalan dan persahabatannya. Semoga Bapak kalian lekas sehat dari sakit yang diderita. Kepada Muhammad Firdaus Arsyad, putra kebanggaan Sape sekaligus sahabat di Jogja yang telah memberikan informasi lengkap tentang wisata-wisata di Bima. Kepada Ibu Fatma, Ibu Yanti dan Ibu Siti, petani di Desa Maria, Wawo, Bima, yang sudah menjadi kawan ngobrol tentang Uma Lengge', rumah adat khas Bima.
-   Di Lombok. Kepada Mbak Amal dan Mas Aridhona, pasangan suami-istri skaligus kakak angkatan FEB UGM yang bekerja di Lombok telah menemui kami di Bandara Praya sekaligus memberi oleh-oleh cukup banyak. Kepada Ono, pemandu di Desa Adat Sade yang bercerita banyak tentang khasanah budaya Sade. Kepada Lalu Upa yang mengantarkan wisata singkat di Lombok, yakni beberapa jam ke pantai-pantai Lombok Selatan.

Nama-nama di atas jelas adalah sebagian kecil dari orang-orang yang membantu Kembara Nusa Tenggara. Tentu para supir bus, kernet bus, sesama penumpang, tukang ojek, orang-orang di pinggir jalan, penjual, anak-anak kecil yang meramaikan saat kehadiran kami serta masyarakat setempat adalah pihak-pihak yang turut mendukung lancarnya petualangan ini. 

Tentara penjaga perbatasan RI-Timor Leste di Motaain, Atambua. @iqbal_kautsar
Seorang mama penjual kopi yang suka bercerita di Kawah Tiga Warna Kelimutu. @iqbal_kautsar
Vitalis Haman beserta keluarganya di Kampung Kombo. Beliau adalah guide ke Wae Rebo. Ramah dan  sangat baik. @iqbal_kautsar

Saya memandang orang-orang di NTT begitu ramah dan suka berbagi informasi. Ini jelas mengusir jauh-jauh anggapan sebagian orang di Jawa yang menganggap masyarakat di NTT begitu menakutkan. Uniknya, orang NTT pun menyadari dengan sering berkata “Tampang kami memang sangar, tapi hati kami lembut dan baik hati.” Ya, bagi saya, mereka lugas tatkala menawarkan bantuan. Tidak suka menipu orang ‘asing’ meski ada kesempatan bagi mereka untuk melakukannya.

Tentu, saya juga harus berterima kasih kepada mas Pras Towo dan Ahmad Zaki yang bersedia mengantarkan pada dini hari. Juga dengan ikhlas ditempati kontrakannya selama dua hari setelah kembali di Jogja, karena untuk mengobati posttravel syndrome.

Terima kasih pula untuk Maharsi Wahyu Kinasih (journalkinchan.blogspot.com) salah satu travel blogger wanita terbaik Indonesia yang berbagi informasi tentang perjalanannya di Kelana Nusa Tenggara. Untuk Arys Setya Gusmana, kawan SMP, SD, dan kuliah, saya berterima kasih karena dia telah menghubungkan saya dengan Gonzales di Maumere. Untuk Jerry Kusuma (jejalan.com), kawan traveler yang telah mengenalkan saya kepada Irma di Kupang. Tidak hanya itu, saya juga berterima kasih kepada semua kawan yang tak bisa disebutkan satu per satu, yang telah mendukung dan mendoakan terlaksananya Kembara Nusa Tenggara.

Dan, paling utama adalah saya mesti berterima kasih setulus-tulus dan sebanyak-banyaknya kepada kedua travelmate saya dalam Kembara Nusa Tenggara: Lingga Binangkit (the-travelist.com) punggawa salah satu majalah online travel terbaik di Indonesia: The Travelist dan Mega Handayani, mantan bos keuangan saya sewaktu di Proyek Bank Dunia. Ya, selama 19 Hari bersama Lingga Binangkit dan 15 Hari dengan Mega Handayani jelas saya banyak dibantu karena kami berjalan bersama-sama dan mengalami suka duka bersama-sama pula. Rasanya dalam hari-hari itu, kehidupan kami begitu kompak dan seragam. Meski demikian, saya juga mesti meminta maaf karena kesalahan dan ketidakenakan saya yang pasti tidak terhindarkan selama Kembara Nusa Tenggara. Sekali lagi saya minta maaf, kawan.

***

Ini baru teroka, sebuah permulaan, sebuah rintisan, sebuah jalan awal. Lao Tzu berkata dalam pepatah klasiknya yang biasa diacu oleh para traveler “Perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama”. Saya memodifikasinya, “Tulisan panjang catatan perjalanan harus dimulai dari sebuah kata.” Dan, teroka ini sudah berparagraf-paragraf. Jelas ini sudah menjadi titik awal yang baik untuk kelanjutan catatan perjalanan Kembara Nusa Tenggara.

Dengan rendah hati, sekali lagi harus saya akui. Hilangnya buku catatan akan berdampak pada ketidaklengkapan nama-nama tokoh dalam artikel nantinya. Saya masih bisa mengingat-ingat nama panggilannya. Adapun untuk nama lengkapnya jujur saya memiliki keterbatasan. Saya tetap akan berusaha konfirmasi kepada pihak-pihak di sana yang masih bisa dimintakan keterangannya. Oleh karena itu, mohon doanya agar saya bisa lancar memperbaiki perihal nama-nama tokoh. 

Bagaimanapun juga, alam dan budaya Nusa Tenggara adalah sebuah eksotika yang mengundang decak kagum bagi yang mengunjunginya. Setiap lekuk tubuhnya menyembul pesona yang unik dan kharismatik. Saya terbuai pada segala keindahannya sehingga perjalanan 19 Hari rasanya begitu kurang. Ah, andaikan ada rejeki, saya pasti kembali lagi menciptakan Kembara Nusa Tenggara Jilid II. Terlebih masih ada Sumba, Rote, Alor, Lembata, Solor dan Komodo. Belum lagi di Sumbawa masih ada Tambora, Dompu, Sumbawa Besar. Rasanya ingin suatu saat nanti kembali menyempurnakan Kembara Nusa Tenggara.

Akhirnya, selalu saja setiap perjalanan saya, termasuk Kembara Nusa Tenggara pun, adalah sebuah misi pribadi saya untuk bisa mengenali Indonesia lebih dekat, lebih akrab dan lebih hangat. Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A begitulah saya menyebutnya. Seperti Jalaludin Rumi pada The Masnavi mempertanyakan dalam syair “Do names not tell of a reality? Can rose grow from R, O, S, and E?” Tidakkah nama semestinya menunjukkan realitasnya? Seperti mawar yang berasal dari M, A, W, A, R? Saya ingin melihat Indonesia dari dekat realitasnya dan memaknainya. Bertakzim pada keindahan alamnya, keagungan budayanya, serta keramahan dan keragaman masyarakatnya.

Dan, tulisan Kembara Nusa Tenggara nantinya adalah semacam wujud laporan misi saya memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A di Nusa Tenggara. Ya, sekedar sebuah laporan. Bukan apa-apa. Sekedar laporan misi perjalanan saya. Yang terpenting, semoga nantinya tulisan ini bisa bermanfaat dan menginspirasi bagi yang membaca untuk turut mengenali Indonesia lebih dekat. Dan tentunya secara apa adanya.

Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga. Yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. (Pramoedya Ananta Toer dalam Ahmad Yunus, Meraba Indonesia)

Safrudin, lelaki muda yang menjadi penjaga di Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende. @iqbal_kautsar
Alex Handus sedang memamerkan alat-alat Tarian Caci, Tari Khas Manggarai. @iqbal_kautsar
Pesta lobster bersama Irma di Kampung Solor, Kupang. @iqbal_kautsar
Bersama Papa dan Mama Ela Bere di Atambua. @linggabinangkit
Terima kasih kepada Dian Pratiwi dan keluarga yang telah menampung kami di Bima. @iqbal_kautsar

You Might Also Like

4 komentar

  1. jadi kangen ke nusa tenggara lagi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setelah IM mu sleseee langsung cuuus ke Nusatenggara tuuh.. :).. aku juga pingin k sana lagi.. apalagi belum k Wae Sano, Sumba, dll.. :)..

      Smoga kesampaian laaah.. hehe

      Hapus
  2. gampang ngak dapat makanan halal di sana?

    **maaf, bahasa indonesia saya sangat lemah.

    BalasHapus
  3. Salam kenal ErnieFaizal Siti :)

    Gampang ditemukan makanan halal.. Banyak ditemui rumah makan Padang dan Jawa.. Masyarakat muslim juga banyak..

    Silakan berwisata ke Flores.. alam dan budayanya begitu kaya.. Kalau ada yg perlu ditanyakan, silakan.

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK